Ilustrasi dari http://tentangwanita.com/
Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah
dioleskan dan digunakan
sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau
terdispersi homogen dalam dasar atau
basis salep yang cocok (Anonim, 1995). Salep dapat
mengandung obat atau tidak
mengandung obat disebut dengan basis salep (Ansel,
1989).
a. Fungsi salep
Menurut Lachman dkk (1994). Sediaan semi padat
digunakan pada kulit,
dimana umumnya sediaan tersebut berfungsi untuk:
1). Sebagai pembawa pada obat-obatan topikal
2). Sebagai pelunak kulit
3). Sebagai pembantu pelindung atau pembalut
penyumbat (oklusif).
b. Syarat salep
Menurut Martin (1993), untuk memperoleh salep yang
baik, salep harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1). Stabil
Salep harus stabil selama masih digunakan untuk mengobati.
Oleh karena
itu, bebas inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar
dan kelembaban yang ada dalam
kamar.
2). Lunak
Salep banyak digunakan untuk kulit teriritasi,
inflamasi dan dibuat
sedemikian sehingga semua zat keadaan yang halus dan
seluruh produk harus lunak
dan homogen.
3). Mudah dipakai
Kebanyakan keadaan salep adalah mudah digunakan,
kecuali sediaan salep
yang dalam keadaan sangat kaku (keras) atau sangat
encer. Salep tipe emulsi
umumnya paling mudah dihilangkan dari kulit.
4). Dasar salep yang cocok
Dasar salep harus dapat campur secara fisika dan
kimia dengan obat yang
dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak atau
menghambat aksi terapi dari
obatnya pada daerah yang diobati. Selain itu dasar
salep perlu dipilih untuk maksud
dapat membentuk lapisan film penutup atau yang dapat
mudah dicuci sesuai yang
diperlukan.
c. Basis salep
Salep terdiri dari basis salep yang dapat berupa
sistem sederhana atau dari
komposisi yang lebih kompleks bersama bahan aktif
atau kombinasi bahan aktif (Voigt,
1984). Basis salep merupakan bagian terbesar dari
bentuk sediaan salep. Berdasarkan
hasil dari berbagai penelitian, ternyata basis salep
mempunyai pengaruh yang besar
terhadap efektifitas obat yang dibawanya (Barry,
1983).
Sebaiknya basis salep memiliki daya sebar yang baik
dan dapat menjamin
pelepasan bahan obat pada daerah yang diobati, dan
tidak menimbulkan rasa panas,
juga tidak ada hambatan pada pernafasan kulit
(Voigt, 1984). Formulasi salep untuk
dapat memberikan efek penyembuhan maka obatnya harus
lepas dari basis salep
kemudian berpenetrasi kedalam kulit (Aiache, 1982).
Menurut Voigt (1984), syarat dasar salep yang ideal
menurut banyak pakar
adalah berdasarkan sifat kimia-fisika, yaitu:
1). Stabilitas yang memuaskan.
2). Tidak tersatukan dengan bahan pembantu yang
lain.
3). Tidak tersatukan dengan bahan obat yang
digunakan.
4). Memiliki daya sebar yang baik.
5). Menjamin pelepasan bahan obat yang memuaskan.
6). Memiliki daya menyerap air yang baik.
d. Penggolongan basis salep
Dalam sediaan salep komposisi basis merupakan hal
yang penting karena akan
mempengaruhi kecepatan pelepasan obat dari basisnya.
Dasar salep umumnya
bertendensi memperlambat atau menghambat absorpsi
obat menembus epidermis dan
permukaan mukosa sehingga secara tidak langsung akan
mempengaruhi khasiat dari obat yang dikandungnya (Barry, 1983).
Setiap salep mempunyai basis yang bermacam-macam dan
mempunyai sifat
hidrofil dan hidrofob. Basis salep memiliki daya
sebar yang baik dan menjamin
pelepasan bahan obat yang memuaskan (Voigt, 1984).
Menurut Ansel (1989), pemilihan basis salep yang
dipakai dalam formulasi
sediaan salep tergantung faktor-faktor berikut:
1). Laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari
basis salep.
2). Keinginan peningkatan absorbsi obat dari basis
salep.
3). Kelayakan melindungi lembab dari kulit oleh
basis salep.
4). Kekentalan atau viskositas dari basis salep.
Harus dimengerti bahwa tidak ada dasar salep yang
ideal dan juga tidak ada
yang memiliki semua sifat yang diinginkan.
Pemilihannya adalah untuk mendapatkan
dasar salep yang secara umum menyediakan segala yang
dianggap sifat yang paling diharapkan (Ansel, 1989).
Berdasarkan komposisinya, dasar salep dapat
digolongkan sebagai berikut:
1). Dasar salep hidrokarbon
Dasar salep hidrokarbon (dasar salep berlemak) bebas
air, preparat yang
berair mungkin dapat dicampurkan hanya dalam jumlah
sedikit saja, bila lebih
minyak sukar bercampur. Kerjanya sebagai bahan
penutup saja. Tidak mengering
atau tidak ada perubahan dengan berjalannya waktu.
Dasar salep hidrokarbon yaitu
Vaselinum, Jelene, minyak tumbuh-tumbuhan.
2). Dasar salep absorpsi
Dasar salep absorpsi dapat dibagi menjadi dua tipe,
yaitu:
(a). Yang memungkinkan percampuran larutan berair,
hasil dari pembentukan
emulsi air dan minyak (misalnya: Petrolatum
Hidrofilik dan Lanolin
Anhidrida).
(b). Yang sudah menjadi emulsi air minyak (dasar
emulsi), memungkinkan
bercampurnya sedikit penambahan jumlah larutan
berair (misalnya: Lanolin dan
Cold Cream).
Dasar salep ini berguna sebagai emolien walaupun
tidak menyediakan
derajat penutupan seperti yang dihasilkan dasar
salep berlemak. Seperti dasar salep
berlemak, dasar salep absorpsi tidak mudah
dihilangkan dari kulit oleh pencucian
air.
3). Dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air
Dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air
merupakan emulsi minyak
dalam air yang dapat dicuci dari kulit dan pakaian
dengan air. Atas dasar ini bahan tersebut sering dikatakan sebagai bahan dasar salep “tercuci
air”.
4). Dasar salep yang dapat larut dalam air
Tidak seperti dasar salep yang tidak larut dalam
air, yang mengandung
kedua-duanya, komponen yang larut maupun yang tidak
larut dalam air, dasar yang
larut dalam air hanya mengandung komponen yang larut
dalam air. Tetapi, seperti
dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air basis
yang dapat dicuci dengan air.
Basis yang larut dalam air biasanya disebut sebagai greaseless
karena tidak
mengandung bahan berlemak (Ansel, 1989).
e. Metode pembuatan salep
Menurut Ansel (1989), salep dibuat dengan dua metode
umum, yaitu: metode
pencampuran dan metode peleburan. Metode untuk
pembuatan tertentu terutama
tergantung pada sifat-sifat bahannya.
1). Pencampuran
Dalam metode pencampuran, komponen dari salep
dicampur dengan segala
cara sampai sediaan yang rata tercapai.
2). Peleburan
Pada metode peleburan, semua atau beberapa komponen
dari salep
dicampurkan dengan melebur bersama-sama dan
didinginkan dengan pengadukan
yang konstan sampai mengental.
Komponen-komponen yang tidak dicairkan biasanya
ditambahkan pada
cairan yang sedang mengental setelah didinginkan.
Bahan yang mudah menguap ditambahkan terakhir bila
temperatur dari
campuran telah cukup rendah tidak menyebabkan
penguraian atau penguapan dari komponen.
f. Peraturan-peraturan pembuatan salep
Peraturan-peraturan pembuatan salep terdiri dari
(Anonim, 1995):
1) Peraturan salep pertama
“Zat-zat yang dapat larut dalam campuran-campuran
lemak, dilarutkan
kedalamnya, jika perlu dengan pemanasan”.
2) Peraturan salep kedua
“Bahan-bahan yang dapat larut dalam air. Jika tidak
ada peraturanperaturan
lain, dilarutkan lebih dahulu dalam air, diharapkan
jumlah air yang
digunakan dapat diserap seluruhnya oleh basis salep,
jumlah air yang dipakai
dikurangi dari basis”.
3) Peraturan salep ketiga
“Bahan-bahan yang sukar atau hanya sebagian dapat
larut dalam lemak
dan air harus diserbuk lebih dahulu, kemudian diayak
dengan ayakan no.B.40
(no.100)”.
4) Peraturan salep keempat
“Salep-salep yang dibuat dengan melelehkan, campurannya
harus
diaduk sampai dingin”.
g. Faktor-faktor yang berpengaruh pada pelepasan
obat dari salep
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari
salep pada dasarnya
sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi
pada saluran cerna dengan laju
difusi yang sangat tergantung pada sifat
fisika-kimia obat (Idzon dan Lazarus, 1986).
Pelepasan obat dari sediaan salep secara in vitro
dapat digambarkan dengan
kecepatan pelarutan obat yang dikandungnya dalam
medium tertentu, ini disebabkan
karena kecepatan pelarutan (mass-transfer) merupakan
langkah yang menentukan
dalam proses berikutnya. Pada umumnya sediaan
obat-obat luar yang berbentuk salep
mengikuti mekanisme difusi pasif. Apabila obat
dioleskan secara topikal obat berdifusi
secara pasif keluar dari bahan pembawanya. Sehingga
difusi berjalan terus-menerus
dari lokasi pemberian ke epidermis dan dermal
(Gordon, 2002).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat
tersebut diantaranya adalah: