Perbincangan sosial media akhir-akhir ini tidak luput dari pro-kontra masyarakat mengenai gratifikasi dokter oleh perusahaan farmasi. Isu gratifikasi obat yang sedang marak diperbincangkan menimbulkan pameo masyarakat “mengapa obat mahal ?”. sebelum menguak lebih jauh mengenai gratifikasi obat, mari kita melihat kembali pengertian gratifikasi obat. Gratifkasi menurut KBBI adalah pemberian komisi berupa uang, barang, tiket perjalanan wisata atau fasilitas lainnya. Gratifikasi menurut pasal 12 B UU No.20/ 2001 yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri yang menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Melihat pengertian umum gratifikasi, dapat diartikan bahwa gratifikasi obat adalah suatu bentuk rewardkepada dokter untuk kepentingan pribadi. Dari suatu perusahaan farmasi karena telah berhasil mencapai terget perusahaan dalam penjualan obat melalui peresepan obat oleh dokter.
Dewasa ini, banyak sekali perusahaan farmasi memberikan komisi kepada dokter yang telah meresepkan obat produksi perusahaan farmasi terkait. Hal ini tentu dapat menyuburkan perusahaan farmasi karenaprofit yang dicapai besar. Lalu bagaimana dengan pasien ? jika dikaitkan dengan pameo masyarakat “mengapa obat mahal?” maka timbul persepsi kemungkinan obat yang diberikan tidak sesuai dengan indikasi. Jika demikian dapat disimpulkan bahwa tenaga kesehatan beracu pada money oriented , bukanpatient oriented.
Oleh karena itu masalah gratifikasi obat harus dikaji secara kritis oleh pemerintah terkait peraturan perundangan yang jelas untuk mengatur gratifikasi obat. Karena sejauh ini, sanksi hanya berlaku untuk dokter PNS, dan belum mengikat dokter swasta. Hal yang dapat dilakukan pemerintah yaitu merubah sistem sehingga seluruh pihak terkait tidak ada yang dirugikan, khususnya pasien maupun tenaga kesehatan. Misalkan perbaikan sistem mengenai jaminan kesehatan masyarakat Indonesia. Apabila sistem tidak memberatkan pihak tertentu, mungkin saja gratifikasi dokter oleh perusahaan farmasi tidak terjadi.
Kemudian, bentuk langkah konkritnya, kita sebagai apoteker diharapkan dapat lebih banyak masuk dalam birokrasi pemerintahan untuk dapat ikut serta menentukan kebijakan kesehatan di Indonesia. Disamping itu sebagai tenaga kesehatan harus bersatu untuk mempengaruhi regulasi pemerintah demi tercapainya Patient Oriented.
oleh Departemen Kajian Strategis